KESAHIHAN
DALIL TAHLILAN DAN TAHLILAN ADA SEJAK JAMAN SAHABAT
31 Juli 2013 pukul 10:41
KESAHIHAN DALIL TAHLILAN DAN
TAHLILAN ADA SEJAK JAMAN SAHABAT
Salam Aswajah !
Tahlilan
Tahlilan bukanlah sebuah kewajiban,
jika ditinggalkan berdosa atau bukanlah perkara yang diwajibkanNya atau
ditetapkanNya atau bukanlah perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah.
Jika berkeyakinan bahwa tahlilan
adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa maka keyakinan seperti
itu termasuk bid’ah dholalah karena yang mengetahui atau menetapkan sesuatu
perkara atau perbuatan ditinggalkan berdosa (kewajiban) atau dikerjakan /
dilanggar berdosa (larangan/pengharaman) hanyalah Allah ta’ala
Firman Allah Azza wa Jalla yang
artinya, “Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang
telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu?
Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul
daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan
kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak
mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Tahlilan adalah amal kebaikan,
perkara diluar apa yang diwajibkanNya dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan Hadits.
Tahlilan adalah sedekah atas nama
ahli kubur yang diselenggarakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan peserta
tahlilan bersedekah diniatkan untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid,
tahlil, pembacaan surah Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang
telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il
berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya
dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia
secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan
bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya
bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Contoh sedekah oleh bukan keluarga
Pernah dicontohkan bebasnya utang
mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini
berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang
seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda:
“Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ
حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ
يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ
نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ
الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ
وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ
صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ
بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami
Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari
Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar
bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang
lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan
bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah
telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap
kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap
kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar
ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Imam Syafi’i ra , ulama yang telah
diakui oleh jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak. Ulama yang paling baik dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
dan Beliau masih bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh,
sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه:
ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن
عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan
apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus”
(Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426]
li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah
Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر
ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku
menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk
mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Begitupula Imam Ahmad semula
mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun
kemudian Imam Ahmad ruju’
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى
البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا
العباس بن محمد قال سألت يحي بن معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن
أسماعيل الحلبي عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى
قبرى وقولوا بسم الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى
أول سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ بعد تخريجه هذا
موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال
صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له
أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا
عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه
حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة
البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata
setelah mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi, ia berkata ; telah
menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritakan
kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritakan kepada kami
al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang
pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia berkata ; telah menceritakan
kepadaku Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari
ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanlah aku
didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati
Rasulillah”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan perlahan, selanjutnya
bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya,
karena sesungguhnya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang
hasan, Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari
Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur.
Ia berkata : kami shalat jenazah
bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang
laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata
kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah
bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad :
“wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad
berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”,
Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan
kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila
dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya disamping
kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu,
Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”.
Abdul Haq berkata : telah
diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan
agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan
demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman
Tahlilan hukum asalnya adalah boleh,
menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi
kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau
dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa
menimbulkan bahaya atasnya.
Tahlilan disyiarkan oleh para Wali
Songo, Wali Allah generasi ke sembilan dan kebetulan berjumlah sembilan orang.
Salah seorang Wali Songo, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung
Jati adalah Wali Allah keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang
meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka
bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan
atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai
Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah
mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja
isinya diganti dengan nilai Islam.
Wali Songo tidak serta merta
membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun
acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti
pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai
terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi
seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan
intelektual sang da’i yaitu Walisongo. Kematangan sosial dan kedewasaan
intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah.
Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa
melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses
yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli
waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir,
pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Mereka yang melarang tahlilan dengan
cara mengutip perkataan ulama seperti Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy
Syafi’i Rahimahullah, beliau berkata dalam I’anatuth Thalibin: نعم، ما يفعله
الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على
منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
Ya, apa yang dilakukan manusia,
yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan
bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya
Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam
dan muslimin.” (Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i, I’anatuth
Thalibin, 2/165. Mawqi’ Ya’sub) sumber: http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3
Berikut teks lengkapnya;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة
المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول
المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في
بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه
العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون
التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد
رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية
بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه
صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟
“Dan sungguh telah aku perhatikan
mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي
مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal
makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara
tersebut.
Gambaran (penjelasan mengenai
keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana) pendapat
para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah)
mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang
kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal ,
kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu
terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan
dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka
membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian
keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan
menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan.
Maka apakah bila seorang ketua
penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya
kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara
keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang
berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau
(semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan
untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan
(pelarangan itu) ?
أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.
(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم
بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت
وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد
الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap
apa yang telah di tanyakan,(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى
آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya
memberikan petunjuk kebenaran”.
“Iya.., apa yang dilakukan oleh
manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan
makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang
mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah
agama dan mendorong Islam serta umat Islam” Kitab I’anatuth Thalibin,
Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha
Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.
Apa yang mereka kutipkan sebenarnya
adalah jawaban atas pertanyaan terhadap sikap pentakziyah yang menunggu
disajikan makanan sehingga keluarga ahli kubur menyediakan makanan dengan
terpaksa atau merasa terbebani.
Sedangkan keluarga ahli kubur yang
mengadakan tahlilan atau mengundang tahlilan, biasanya pada malam harinya atau
malam selanjutnya, pada umumnya mereka telah mempersiapkan dan tidak merasa
terbebani karena mereka meniatkannya sebagai amal sedekah atau amal kebaikan
atas nama ahli kubur.
Dapat juga kita temukan mereka
melarang tahlilan dengan mengutip perkataan Imam Mazhab seperti
Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata
dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli
mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan
memperbaharui kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah
perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg
mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap
dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada
orangnya yang bertugas dan dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan
yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa
hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan
menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan
hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh
berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah
sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa
perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa
kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah
“Kariha/yakrahu/Karhan” yang berarti Makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu
:makna bahasa dan makna syariah. Makna makruh secara bahasa adalah benci, Makna
makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan
jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika
bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga
suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum,
yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam
hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas
sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum
pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits. Ke-makruh-an timbul
jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy
Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati
yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Begitupula mereka melarang tahlilan
dengan mengutip hasil muktamar I Nahdlatul Ulama (NU) Keputusan masalah
Dinniyah No. 18/13 Rabi’uts Tasaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Di Surabaya
******* awal kutipan ******
Tentang keluarga mayit menyediakan
makan kepada pentakziah
Tanya:
Bagaimana hukumnya keluarga mayat
menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada
hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat
tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut? Jawab:
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu
hukumnya makruh , apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada
hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala
itu.
****** akhir kutipan *******
Jelas dalam keputusan tersebut bahwa
hukumnya makruh dengan penjelasan kemakruhan sebagaimana yang disampaikan di
atas tetapi tidak menghilangkan pahala sedekahnya Tanya jawab seputar tahlil
dan sedekah Tanya : Bolehkah sedekah dalam bentuk bacaan tahlil, surah al
Fatihah, surah Yaasin disedekahkan kepada saudara muslim lainnya yang masih
hidup maupun yang telah wafat ? Jawab : Kita boleh mensedekahkan sedekah bentuk
bacaan tahlil, surah al Fatihah, surah Yaasin kepada saudara muslim lainnya yang
masih hidup maupun yang telah wafat. Baik yang mensedekahkan dan saudara
muslimnya yang menerima sedekah sama-sama menerima kebaikan (pahala).
Contohnya Kita dapat mensedekahkan
istighfar kepada saudara muslim lainnya baik yang masih hidup maupun yang telah
wafat “Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal
muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat” “Ampunilah aku
ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat,
mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.” Kita dapat
mensedekahkan bacaan Al Fatihah bagi kesembuhan saudara muslim lainnya umumnya
diawali dengan komando seperti “Marilah kita bacakan Al Fatihah bagi kesembuhan
si fulan” Sedekah bacaan surah Al Fatihah yang dibacakan orang banyak menjadi
milik si fulan dan amal kebaikan yang menjadi miliknya dapat menolong
kesembuhan. Hal ini terjadi karena jalinan tali silaturrahmi.
Sholat jenazah yang berisikan bacaan
Al Fatihah, sholawat dan doa merupakan sedekah mereka yang mensholatkan dan
menjadi milik ahli kubur sebagai amal kebaikannya tanpa mengurangi kebaikan
bagi mereka yang mensholatkannya. Tanya: Kalau memang boleh kita bersedekah
dengan bacaan tahlil, surah al Fatihah, surah Yaasin, dll bagaimana kaitannya dengan
firmanNya yang berbunyi, wa-an laysa lil-insaani illaa maa sa’aa, “dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya” (QS An Najm [53]:39 Jawab: Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan
adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al
Qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”.
Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah
(orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun
usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika
dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau,
dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.
(jadi huruf “lam” pada lafadz “lil
insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”). Tanya: Apakah
sampai sedekah bacaan tahlil, surah al Fatihah, surah Yaasin kepada ahli kubur
sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Apabila salah
seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga
perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak sholeh yang
selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084)
Jawab: Hadits itu hanya mengatakan
“inqatha’a ‘amaluhu , terputus amalnya maknanya adalah setiap manusia setelah
meninggal dunia maka kesempatan beramalnya sudah terputus atau apapun yang
mereka perbuat, seperti penyesalan atau minta ampun mereka ketika mereka
memasuki alam barzakh tidak akan diperhitungkan lagi amalnya kecuali amal yang
masih diperhitungkan terus adalah apa yang dihasilkan dari amal yang mereka
perbuat ketika masih hidup seperti, 1. Sedekah jariyah 2. Ilmu yang bermanfaat
bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain 3. Mendidik anak sehingga
menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya Hadits tersebut tidak dikatakan,
“inqata’a intifa’uhu”, “terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat”. Adapun
amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalkan itu kepada si mayyit maka akan sampailah pahala orang yang
mengamalkan itu kepada si mayyit.
Tanya: Bukankah Imam Syafi’i
~rahimahullah berpendapat bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada si mayyit
Jawab: Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an
tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh
hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah
wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka
Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak
bisa sampai kepada yang wafat.
Syarat sampai pahala bacaan
tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka
pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang
bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia
memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651).
Begitupula ada kita jumpai ahli
waris memberikan amplop berisikan uang kepada seluruh mereka yang hadir
mensholatkan jenazah bagi ahli kubur, hal ini akan merusak keikhlasan sedekah
mereka yang mensholatkan jenazah.
Begitupula kebiasaan memberikan
amplop (berisikan uang) kepada imam sholat jenazah janganlah diniatkan karena
dia mengimami sholat jenazah namun diniatkan sebagai sedekah bagi mereka yang
berjuang di jalan Allah (fi Sabilillah).
Al Imam Syafi’i ~rahimahullah
mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat
berikut :
1. Pembacaan dihadapan mayyit
(hadlirnya mayyit), 2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit 3.
Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Hal yang perlu kita ingat selalu
adalah yang dapat memahami dan menjelaskan perkataan Imam Mazhab yang empat
adalah pengikut Imam Mazhab yang empat bukan pengikut ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab, pengikut ulama Ibnu Taimiyyah ataupun pengikut ulama Al Albani dan
lain-lainnya.Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang
memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat
atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam
Mazhab yang empat.
Imam An Nawawi adalah ulama
Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama
madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga,
jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan
berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu
tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki
ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.
Hal ini dijelaskan contohnya oleh
‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari
dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم
المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب
جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة
وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو
ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن
بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam
an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab
asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan
sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama
berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat,
puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai
qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan
mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu
(sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an
apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit
dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah
ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya
al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar
al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه
مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو
نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur
adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya
mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau
meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi
al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].) Anjuran sedekah untuk yang
telah wafat
Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi”
karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai
berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه
فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال
طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
, قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن
حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان
الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal
ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan
kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku
al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar
zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang
yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7
hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan
(sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di
dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan
kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah
menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam
Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah
dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih
hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal
selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama
jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى
أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن
و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai
sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang
jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai
sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama,
yaitu sahabat.
Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=203798782998090&set=a.203798676331434.52004.100001039095629
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli
hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin
al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri
mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah
berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا
يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati difitnah
(diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka”
menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang
meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad
Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H)
juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2]
Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106
H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar
al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz
as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat
diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa
Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara
tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak
sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian
dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu
sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa
mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran (kesunnahan)
untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian
didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari
yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat,
difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam
itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung
pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz
as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan
makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya
amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah
dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak
masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan
sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada
salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh
ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam)
menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah seperti yang dilakukan
diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat.
[7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab,
disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون
حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر
رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما
تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي
بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت
الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ
الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في
مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin
Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata :
aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy
tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka
aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh
di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat
bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan
makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah,
dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena
sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib
radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah
wafat .. (al-hadits),
[1] Lihat : Syarah ash-Shudur
bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim,
Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam
al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam
Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush
Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam
al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa
Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada
kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada
kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia
berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh
malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk
melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari
tersebut”.
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat
(16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar
berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat
al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami
seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah
al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ;
al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim
(3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi
(2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
— bersama SYeqh Muhyi, Raudhatus
Shalihah ElBhry, Azhar Niam, dan 34 lainnya. https://www.facebook.com/photo.php?fbid=276224112515939&set=at.179509232187428.41600.100003850582784.100001104453827&type=1&theater
TAHLILAN ADA SEJAK JAMAN SAHABAT
=========================
Hukum Selamatan ke 3, 7, 40, 100,
setahun, 1000 hari
----------------------------------------------------------------
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40,
100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan
diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman
As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه
فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال
طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
, قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن
حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان
الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام Artinya:
“Telah
berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di
dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan
kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku
al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar
zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M):
Sesungguhnya orang-orang yang
meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari.
Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan
(sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di
dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan
kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah
menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam
Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah
dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih
hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal
selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama
jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى
أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن
و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول ِ
Artinya: “Sesungguhnya, kesunnahan
memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap
berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan
Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa
sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak
generasi pertama, yaitu sahabat.
Tahlilan sampai tujuh hari ternyata
tradisi para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para tabi’in Siapa
bilang budaya berssedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino
(tujuh hari) atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ? Di
Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat.
Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo,
duduk-duduk di rumah duka dan lainnya.
Akan tetapi bukan berarti setiap adat
istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh
seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang
budaya atau tradisi dalam kacamata Syare’at di ; http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html
atau di ; http://www.facebook.com/groups/149284881788092/?id=234968483219731&ref=notif¬if_t=group_activity.
Tidak semua budaya itu lantas
diharamkan, bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri mengadopsi
tradisi puasa ‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang
memperingati hari kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah
memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib
saat ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan
perilaku yang baik “, maka beliau menjawab: “Yang dimaksud perkara yang baik
dalam hadits tersebut adalah : هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي “
Beradaptasi dengan masyarakat dalam
segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang
menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam. Telah banyak beredar
dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai
tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan
asumsi mereka ini? Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak
berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan
menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan
para tabi’in.
Perhatikan dalil-dalilnya berikut
ini :
------------------------------------------
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam
kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في
قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام “ Thowus berkata:
“Sungguh orang-orang yang telah
meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka
(sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari
mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “. Sementara dalam
riwayat lain : عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن
سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا “
Dari Ubaid bin Umair ia berkata:
“Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur.
Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang
munafiq disiksa selama empat puluh hari “. Dalam menjelaskan dua atsar tersebut
imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus
termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih. Thowus yang wafat tahun 110 H
sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan
pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan
Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu
seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan
Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau
dilahirkan di zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahkan menurut versi lain
disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini
beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui
ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw
yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi),
semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang
sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan
tidak sampai kepada Nabi Saw). Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan
Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا
فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang
telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka
mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti
dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para
sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh
Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm.
266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama
mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan
budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahkan
telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)
Kumpulan beberapa tulisan diharapkan
ada manfa'atnya bagi kita semua,Amin
Semoga bermanfa'at
Allahumma soli'ala sayyidina
Muhammad wa'ala alihi wa ashabihi ajama'in Nassren Azbahu , Roesyid Diab,
Ansoori Dahlan,Bubah Albustomi
https://www.facebook.com/notes/herman-maulana/kesahihan-dalil-tahlilan-dan-tahlilan-ada-sejak-jaman-sahabat/583810724999071
Inyak Allah kita akan tampilkan lebih dalam so'al Tahlilan,istiqosah,tawasul,berhadiah pahala dalam blog ini,akan disampaikan sedetail-detailnya,termasuk hikmah-hikmahnya,do'akan saja,Amin.