Senin, 16 Mei 2016,
SALAFYNEWS.COM, JAKARTA
–
Sekte ini berbicara tentang status keislaman seseorang, apakah
seseorang tersebut telah keluar dari Islam (kafir), atau masih berada
dalam lingkup lingkaran keislaman. Pemikiran ini awal mulanya muncul di
zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra., dan sekarang pemikiran ini
kembali menyerebak di tengah-tengah umat Islam yang popular dengan
istilah terorisme atau takfirisme. Banyak orang-orang yang sibuk
membicarakan status keislaman orang lain, terutama status keislaman para
pemimpin yang berhukum dengan undang-undang buatan manusia.
Khalifah Ali bin Abi Thalib berusaha
secara persuasif untuk menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang
benar dan sesuai dengan Al-Quran-as-sunnah. Di antaranya adalah dengan
mengirimkan salah satu sahabat Nabi bernama Ibnu Abbas RA, untuk
melakukan dialog dengan kaum Khawarij tersebut.
Bagi Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi
Thalib ra., Ibnu Abbas ra. bukan orang “luar”. Ibnu Abbas adalah putra
dari paman Rasulullah SAW, generasi Rabbani yang paling paham akan
kitabullah, dan yang paling mengetahui takwil serta tafsirannya. (Baca: Tuhan, Nabi, Khulafaurrosyidin Tak Perintahkan Buat Negara Khilafah)
Ia lahir pada tiga tahun sebelum Nabi
Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Walaupun demikian, karena sejak usia
tiga tahun beliau sudah hidup bersama Rasulullah SAW, tidaklah
mengherankan jika ia telah menghafal 1.660 hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dalam kitab sahihnya.
Berikut ini, kami cuplikkan sebuah kisah
tentang ketergesa-gesaan orang-orang Khawarij dalam memvonis hukum
kafir dan kedangakalan mereka dalam memahami ayat-ayat Alquran,
mudah-mudahan para pemuda yang memiliki semangat dalam berislam bisa
mengambil pelajaran dari kisah ini dan terhindar dari pemikiran
terorisme dan takfirisme yang dengan mudah memvonis kafir seseorang.
(Baca: Takfirisme-Wahabisme Ideologi Gelap Para Teroris)
Ali bin Abi Thalib mengirim Abdullah bin
Abbas kepada orang-orang Khawarij untuk berdialog bersama mereka. Kisah
dialog Ibnu Abbas ini dicatat oleh Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya
Talbis Iblis sebagai berikut:
Ibnu Abbas RA. berkata, “Orang-orang
Khawarij memisahkan diri dari Ali ra., berkumpul di satu daerah untuk
memberontak kepada khalifah. Ketika itu, jumlah mereka enam ribu orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, setiap
orang yang mengunjungi Ali ra. berkata -mengingatkannya-, “Wahai Amirul
Mukminin, orang-orang Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Ali menjawab, “Biarkan saja, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan pasti mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat
masuk waktu zuhur aku menjumpai Ali ra. Aku (Ibnu Abbas) berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat zuhur, sepertinya
aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas ra. menjawab, “Wahai Amirul
Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang
berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali
pun mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera
kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di
barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas ra. berkata, “Aku benar-benar
berada di tengah suatu kaum yang belum pernah kujumpai orang yang
sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka
bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan).
Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam
untuk beribadah.” (Baca: Hendropriyono Ternyata Benar Tentang Wahabi)
Namun tingkah-laku mereka tiap harinya tidak mencerminkan sikap Islami.
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak
mereka menyambutku, “Selamat datang, wahai Ibnu Abbas ra. Apa gerangan
yang membawamu kemari?”
Aku berkata, “Aku datang pada kalian
sebagai perwakilan dari sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, dan juga
dari sisi menantu Rasulullah SAW (yakni Ali bin Abi Thalib), kepada para
sahabat-lah Alquran diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling
mengerti makna Alquran daripada kalian.”
Ibnu Abbas ra. mengingatkan tentang
kedudukan sahabat Muhajirin dan Anshar dan bagaimana seharusnya prinsip
seorang muslim dalam memahami Alquran dan sunnah yaitu mengembalikan
kepada pemahaman sahabat yang kepada merekalah Alquran diturunkan, dan
merekalah orang yang paling mengerti Alquran dan sunnah. Ibnu Abbas juga
menegaskan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib ra. di sisi Allah,
yaitu menantu Rasulullah SAW.
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas yang
penuh makna dan merupakan prinsip hidup -yang tentunya tidak mereka
sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka-, sebagian Khawarij
memberi peringatan, “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang
dari Quraisy (yakni Ibnu Abbas ra., pen.). Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“ Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Ibnul Jauzi kembali melanjutkan kisah ini: Dua atau tiga orang dari mereka berkata, “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Ibnu Abbas berkata, “Wahai kaum, beri
aku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah SAW beserta
sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal Alquran diturunkan kepada mereka,
dan tidak ada seorang sahabat pun yang bersama kalian. Ali adalah orang
yang paling mengerti tentang penafsiran Alquran.”
Mereka berkata, “Kami punya tiga alasan.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
“ Pertama, sungguh Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman,
“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah …” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah Ta’ala. Kata mereka.
Ibnu Abbas menanggapi, “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka melanjutkan, “Kedua,
sesungguhnya Ali telah berperang dan membunuh, tapi mengapa tidak mau
menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (orang-orang yang berperang
melawan Ali) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan
membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Ibnu Abbas ra. bertanya lagi, “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Kata mereka, “Ketiga,
dia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia
bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah
amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Ibnu Abbas ra. berkata, “Ada alasan selain ini?” Mereka berkata, “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Bantahan Ibnu Abbas ra. atas dangkalnya pemahaman Khawarij
Lihatlah, bagaimana Khawarij mudah
memvonis kafir, dan memberontak sekalipun kepada khalifah ar-Rasyid yang
penuh keutamaan dan kemuliaan. Alasan-alasan mereka adalah kerancuan
yang sangat lemah dan menunjukkan kedangkalan mereka dalam memahami
Alquran dan sunnah. (Baca: Prof Sumanto Al-Qurtuby: Konsep Negara KHILAFAH Bukan Produk Tuhan)
Ibnu Abbas ra. mulai menanggapi, “Ucapan
kalian bahwa Ali ra. telah menjadikan manusia untuk memutuskan perkara
(untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai
jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan kerancuan kalian. Jika
ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang
benar)?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu Abbas ra. berkata, “Ketahuilah,
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyerahkan sebagian
hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga
kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah
Subhanahu wa Ta’alal berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ
مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ
ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ
طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ
أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ
اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.
Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu,
sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar
kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang
dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk
dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan
barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya.
Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS.
Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan
dan suaminya yang bersengketa, Allah SWT juga menyerahkan hukumnya
kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ
بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“ Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)
Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya
seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah
pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau
hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita?
Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakan, “Inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu Abbas ra. berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah pertama?” Mereka berkata, “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun ucapan
kalian bahwa Ali ra. telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah
dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh
(dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni
Aisyah).
Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa
Aisyah bukan ibu kita, kalian telah keluar dari Islam (karena
mengingkari firman Allah SWT). Demikian pula kalau kalian menjadikan
Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana
tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalian
pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua
kesesatan, karena Allah SWT berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ
“ Nabi itu lebih utama bagi orang-orang
mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu
mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas ra. berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas ra. berkata lagi, “Adapun
ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin
dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian
tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah SAW. Ketahuilah,
bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian
damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin Amr.
Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah SAW bersabda
kepada Ali, “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis,
“Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…”
Orang-orang musyrik berkata, “Demi
Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui
engkau sebagai utusan Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah,
sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali,
tulislah ‘Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.”
(Rasulullah memerintahkan Ali untuk menghapus sebutan Rasulullah dalam
perjanjian, pen.)
Ibnu Abbas ra. berkata, “Demi Allah,
sungguh Rasulullah SAW lebih mulia dari Ali, meskipun demikian beliau
menghapuskan sebutan rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah
dengan perintah Rasul menghapuskan kata rasulullah dalam perjanjian
kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari
keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)
Ibnu Abbas ra. berkata, “Maka kembalilah
dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan
berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah
peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”
Demikian tiga kerancuan pola pikir
Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi
Ali ra. Semua kerancuan tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan
Ibnu Abbas ra. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan
menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Alquran dan sunnah.
Kemudian dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnu Katsir melanjutkan kisah ini.
Abdullah bin Abbas membawa mereka ke hadapan Ali bin Abi Thalib di Kufah.
Setelah itu, Ali mengirim utusan kepada
orang-orang Khawarij yang tersisa, ia berkata, “Sesungguhnya kalian
telah menyaksikan apa yang telah dialami olehku dan orang-orang secara
umum. Berbuatlah semau kalian hingga umat Muhammad SAW bersatu. Di
antara kita ada sebuah perjanjian, tidak boleh menumpahkan darah yang
haram dibunuh, tidak boleh menyabotase jalan dan tidak boleh menzalimi
ahli zhimmah. Jika kalian melanggarnya, maka kami akan membalasnya
dengan pembalasan yang setimpal. Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“ Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfal: 58)
Tidak lama setelah itu, mereka
menyabotase jalan, membunuh orang-orang yang tak bersalah, menghalalkan
darah ahli zhimmah hingga mereka dikalahkan dalam Perang Nahrawan.
Setelah itu mereka membalas dendam dan yang mengakibatkan tewasnya
Khalifah ar-Rasyid Ali bin Abi Thalib ra.
Jadi berhati-hatilah dari kelompok
Khawarij, takfirisme dan pendukung Khilafah yang seolah-olah mereka
beragama namun mereka tidak melakukan ajaran agama dengan benar dan
baik, mereka hanya bersembunyi dalam topeng agama, mereka seakan-akan
melakukan perintah Allah SWT dan Nabi, namun mereka malah mengingkari
perintah Allah SWT dan Nabi. (SFA/BerbagaiMedia)