Rabu, 26 Juni 2013

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN



ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN DAN CITA-CITA PENEGAKAN SYARI’AT ISLAM DI INDONESIA

Komentar atas penilain Gusdur di masa lalu menurut saya (Herman Maulana on Fb) atas posting karyawanfb :


Alhamdulillah,upaya seperti ini atas pemulihan pandangan miring kepada Gusdur adalah untuk membuka ckrawala pemikiran yang sehat,agar selalu berhati-hati dan untuk dpt memahami bahwa Islam itu Rahmatan lil Alamin.degan konsep Bagiku amalku,bagimu amalmu,bagiku agamaku bagiku agamamu, dan dalam pendirian pada beliau tetap Innadina indallahil islam ( sesungguhnya agama yang diterima Allah hanyalah Agama Islam),sejahat apapun mahluk Allah berikan kehidupan,rizqi,tak satupun mahluk dan segala yang Allah Ciptakan itu adalah sia-sia,semuanya ada hikmah-hikmahnya,dan Allah lah sebaik-baik memberikan Hisab ( perhitungan).Ambil yang baik,tinggalkan yang buruk menurut kadar penilain maisng-masing.

Seorang pemimpin senantiasa dituntut sikap yang bijaksana,tidaklah sama degan pandagan rakyat jelata/bahkan tidak akan pernah cocok karena kapasistasnya berbeda,banyak hal,perlu dingat,dipertimbangkan demi sebuah keutuhan berbangsa dan bernegara,dan kita tetap menolak konsep The Gusdurian yang disalah artikan,bahwa islam tak layak pada negara sistim demokrasi,dgan komentar lihatlah Gusdur meniggalkan azaz Islam dalam Partainya,itu menandakan Islam Tak layak dalam Demokrasi,padahal islam sumbernya Demokrasi,yang bisa mengayomi hak-hak non muslim dalm batas kewajaranya,bukan dalam arti seluas-luasnya,melampaui batas kewajaran,sehingga dapat mewujudkan demokrasi Libralisme,demokrasi Kavitalisme dan demokrasi atheis yang keluar dari demokrasi Ahlaqul karimah dalam kosep Islam Rahmatan lil alamin,

Demokrasi yang dibagun Gusdur adalah menuju demokrasi Ahlahqul Karimah,bersama partai-partai Islam seperti PPP dan yang lainya degan berbasis AD/ART degan Azaz Islam,yang sejalan degan konesp Panca Sila itu sendiri yang existensinya itu sendiri berasal dan bersumber kepada jiwa/ruh islam itu sendiri,sebagai induk dari AD/ART partai-partai berdasarkan Panca Sila,seperti Demokrat,Golkar.

Nyatakan kepada Bangsa,negara ini bahwa Islam itu Rahmatan lil Alamin,dalam norma dan konsep kewajaran,karena Republik Indonesia adalah Mayoritas Muslim.Kepada seluruh partai politik yang beazazkan Islam dan berazazkan pancasila yang merupakan Pilar Islam Rahmatan lil alamin sebagai peyeimbang,segala potensi dalam membangun negara ini dalam batas kewajaran.Semoga Indonnesia kedepan semakin jaya dalam panji Islam Rahmatan Lil Alamin,yang terlahir dari para politisi/pemimpin yang cerdas,berahlaq mulia dan senantiasa berupaya menuju sebuah negara Baldatun toyyibatun Warrobun Ghafur.

Untuk itu berupayalah kita agar membesarkan parta-partai Induk berbasiz Islam yang berkonsep/berkomitment pada Islam Rahmatan Lil Alamin agar dapat mewujutkan syari’at islam bagi pemeluknya,dan Alhamdulillah Indonesia telah tumbuh begitu banyak ekonomi syari’ah dan menggungguli konsep konvensional.tinggal selagkah lagi yakni untuk mewujudkan hukum pidana islam bagi pemeluknya.dan jika DPR RI ,Ormas dan Orsospol bersepakat ,sudah sangat memungkinkan hukum pidanah syari’at islam diwujudkan,karena syari’at islam diberlakukan kepada pemeluknya,sementara hukum kovensional untuk non muslim ,tetap diberlakukan dan untuk disesuaikan kepada hukum pidanah syari’ah,sesuai degan konsep Piagam Jakarta dimasa yang silam. Semoga !


EITH DI BACA DULU PELAN2 SAMPAI SELESAI DAN DI PAHAMI BARU KOMEN.

PLURALISME GUS DUR, GAGASAN PARA SUFI

Oleh: KH. Husein Muhammad

Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, terserah jika ada orang yang tidak suka atau berbeda pendapat dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis “Di Sini Dikubur Sang Pluralis”. Terlepas pesan itu benar diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan.

Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhlukNya, Gus Dur juga ingin mengasihinya. “Takhallaq bi Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah), 

kata pepatah sufi.

Sejauh yang saya tahu, Gus Dur tak banyak bicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya.
Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan menyampaikan ayat al-Quran ini : “Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian di mataKu, ialah orang yang paling bertaqwa kepadaKu.”
“Li ta’arafu” (saling mengenal), tidak sekedar tahu nama, alamat rumah, nomor handphone, atau tahu wajah dan tubuh yang lain. Saling mengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih dari segalanya “li ta’arafu” berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain.

Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah. Taqwa bukan sekedar dan hanya berarti sering datang ke masjid atau menghadiri secara rutin majlis ta’lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasa saban hari. Tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah, sabar, rendah hati dan sejuta makna kebaikan kepada yang lain dan kepada alam.

Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur menyampaikan makna taqwa dengan menyetir ayat-ayat al-Quran ini:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَل الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَوَابْنَ السَّبِيلِوَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَاعَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُواوَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

 
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.(QS. al-Baqarah ayat 177).

Semua itulah makna taqwa yang dipahami Gus Dur. Dari ayat al-Quran ini Gus Dur sering mengatakan bahwa Islam itu terdiri dari 3 rukun (pilar): Rukun Iman, Rukun Islam, dan Rukun Tetangga. Saya kira apa yang dimaksud Gus Dur tentang rukun yang ke tiga ini adalah Rukun Kemanusiaan. Gus Dur tentu bukan tidak tahu Rukun ini dalam konteks tradisi Islam disebut Ihsan. Tetapi Ihsan dalam pengertiannya adalah Kemanusiaan tadi.

Dengan itu, Gus Dur tampaknya ingin menggugah kesadaran kaum muslimin agar tidak mengabaikan atau mereduksi rukun tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa ia menjadi tujuan dari agama dalam kehidupan manusia di dunia. Maka Gus Dur, sering bicara tentang kejujuran, keteguhan/kesabaran dalam berjuang, menghargai orang dan mengadvokasi siapa saja yang menderita dan yang ditindas. Lebih dari itu, ia bukan hanya sekedar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat baik, melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dan rengkuhan yang hangat.
Sebaliknya, ia akan menentang siapa saja yang merendahkan martabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi dan menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela mereka yang martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti dan ditelantarkan.

Ketika para pengikut Ahmadiah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika Gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak “jangan”. Ketika Inul Daratisna dihujat ramai-ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya bagai bor, ia “memeluk”nya dengan hangat. Ketika Dorce disoraki karena berganti kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih. “Jika itu adalah dirimu, teruslah bekerja”, katanya.

Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan (pornografi) hendak diserahkan kepada Negara, ia berdemonstrasi bersama isteri tercintanya; Shinta Nuriah dan bersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan. Ketika orang-orang Thionghoa meminta hari raya Imlek dan Barong sae, ia memberikannya dengan tulus. Meski tak bisa melihat dengan matanya, ia hadir menyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Gus Dur senang.

Seringkali kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itu dilakukannya sendirian. Ia berjalan sendiri, meski ia harus mempertaruhkan jiwanya. Ia tak peduli. Dalam perlawanannya terhadap pembredelan tabloid Monitor dan pembelaannya terhadap Salman Rusydi dalam kasus bukunya Satanic Verses, yang bikin heboh itu, misalnya, Gus Dur tak menemukan mata lain yang penuh pengertian. Ia berjalan sendiri.

Seorang sufi mengatakan: “Ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran yang matang, bantuan eksternal tak lagi diperlukan”. Dan Gus Dur sanggup menjalaninya seorang diri dengan tegar, karena ia telah matang. “La Yakhaf Laumata Laa-im” (ia tak pernah takut pada mata yang membenci). Kata Gus Dur; “Ditempatkan di urutan manapun, Muhammad bin Abdullah tetap saja sang penghulu para nabi dan utusan Tuhan, Insan Kamil.”

Bagi Gus Dur semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, ras dan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain. Yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi: “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan amal dan hatimu.”

Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak ia setujui atau ada yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus Dur tetap saja nembela mereka. Ia membela karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya yang berwarna lain, harta mereka dirampas semaunya, ekspresi-ekspresi diri mereka dihentikan secara paksa oleh negara atau direnggut dengan pedang oleh otoritas dominan dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak melakukan apa-apa. Membela kehormatan adalah perjuangan besar.

Bagi Gus Dur, ekspresi-ekspresi diri, personal, individual, yang dianggap sebagian orang sebagai tak bermoral, tak boleh melibatkan Negara, tak boleh diintervensi kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara yang mereka miliki dan dengan mengaji yang sungguh-sungguh, sampai khatam dan dengan ketulusan.

Bagi Gus Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai tak bisa diberi tanda. Pikiran adalah misteri yang tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran-pikiran pada hamba-hambaNya. Dialah Pemilik nafas setiap yang hidup dan Dialah yang akan menanyainya kelak, bila tiba masanya. Karena itu, hanya Dialah yang berhak menamainya dan menghakiminya, tidak yang lain.

Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi:

لَيْسَ فِى وُسْعِكَ إِبْعَادُتِلْكَ الْفِكَرِ عَنْكَ وَلَوْ بِمِائَةِ اَلْفِ جُهْدٍ وَسَعْيٍ

“Tak ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali rekayasa berkeringat.

فَالْفِكَرُ مَا دَامَتْ فِى الْبَاطِنِ تَكُونُدُونَ إِسْمٍ وَدُونَ عَلاَمَةٍ لاَ يُمْكِنُ الْحُكْمُ عَلَيْهَا بِكُفْرٍوَلَا بِإِسْلاَمٍ.

“Sepanjang pikiran-pikiran tersembunyi di dalam, maka ia tak bernama dan tak bertanda. Ia tak mungkin dihukumi kafir atau islam.”

Begitulah sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas. Itulah sifat seorang sufi, seorang bijak-bestari yang jiwanya mampu menembus kedalaman makna kata-kata Tuhan. Kata-kataNya memiliki dan menyimpan berjuta makna dan tak terbatas. Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak akan menghasilkan apa-apa, sia-sia, kecuali membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, dan menghambat kemajuan orang dan peradaban manusia. Tak ada cara lain untuk menundukka norang lain kecuali melalui bicara manis, tanpa marah-marah dan dengan otak yang cerdas. Jika tak tunduk, biarkan masing-masing berjalan sendiri-sendiri, sambil katakan saja: “Anda adalah anda dan aku adalah aku. Wassalam.”

Tindakan dan sikap itu, menurut Gus Dur, sesungguhnya telah diajarkan oleh Islam dan para Nabi sejak ribuan tahun lalu. Ia sering mengutip sumber literature Islam klasik yang bicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah al-Mustasyfa, karya Imam Abu Hamid al-Ghazali. Sufi besar ini mengatakan bahwa tujuan aturan agama adalah memberikan jaminan keselamatan keyakinan orang, keselamatan fisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan harta. Al-Ghazali menyebut lima prinsip dasar perlindungan ini sebagai “al-Kulliyyat al-Khams”. Orang sering menyebutnya “Maqashid asy-Syari’ah”(tujuan-tujuan pengaturan kehidupan).

Lima prinsip ini merupakan pemberian Tuhan pada setiap manusia yang tak ada seorang manusiapun berhak mengurangi atau menghilangkannya. Inilah basis fundamental (ar-Rukn al-Asasi) pikiran-pikiran dan langkah-langkah Gus Dur.
Meskipun Gus Dur membaca dan mengerti, tetapi ia tidak mengutip pandangan atau sumber dari Barat atau Yahudi, seperti dituduhkan sebagian orang. Ia menggalinya dari sumber tradisi Islam sendiri, dan ia mampu menginterpretasikan dengan cara-cara yang memukau dan genuine, sejalan dengan konteks kehidupan yang selalu bergerak. Ia memang sangat kaya dengan referensi tradisi Islam klasik ini berikut perangkat analisisnya: bahasa, sastra, logika, filsafat sosial, dan metode-metode keilmuan.
Melalui penjagaan atas lima prinsip dasar kemanusiaan universal tersebut, Gus Dur memimpikan berkembang dan tersebarnya persaudaraan manusia atas dasar kemanusiaan (Ukhuwwah Insaniyyah), tanpa dibatasi sekat-sekat primordial. 

Ini menurut saya sesungguhnya merupakan gagasan para sufi besar. Para sufi yang sejumlah namanya disebutkan di atas, adalah orang-orang yang paling vocal menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan universal itu. Tak ada keraguan sedikitpun di hati mereka pada prinsip utama agama bahwa tidak ada di alam semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu yang ke hadapanNya seluruh yang maujud tunduk. Dan seluruh yang maujud (ada) sejak ia ada sampai keberadaannya tercabut, selalu dan terus mencari-cari Dia melalui jalan dan bahasa yang berbeda-beda.

عِبَارَاتُنَا شَتَّى وَحُسْنُكَ وَاحِدٌ وَكُلٌّ اِلَى ذَاكَ الْجَمَالِ يُشِيْرُ

Bahasa kita begitu beragam tetapi Engkaulah Satu-satunya yang Indah .Dan kita masing-masing menuju kepada Keindahan Yang Satu itu.Maka kebhinekaan realitas alam semesta ini seharusnya tidak menghalangi setiap manusia untuk memahami pikiran, bahasa dan kehendak-kehendak manusia yang lainnya. Para sufi memandang alam semesta yang beragam dan yang seluruhnya mengandung keindahan sebagai “tajalli” Tuhan, perwujudan rahmat dan keagunganNya di alam semesta. Keberanekaan berasal dari Tuhan. Dialah Sang Penciptanya.

Ibnu Athaillah, nama sufi besar yang dikagumi Gus Dur, banyak bicara soal Kesatuan Semesta, meneruskan gagasan Ibnu Arabi. Ibnu Ajibah mengomentari gagasan itu dalam syairnya yang indah:

أُنْظُرْ جَمَالِى شَاهِداً فِى كُلِّ إِنْسَان
   اَلْمَاءُ يَجْرِى نَافِداً فِى أُسِّ الْاَغْصَان
تَجِدْهُ مَاءً وَاحِدًا وَالزَّهْرُ أَلْوَان

Lihatlah KeindahanKu Tampak pada semua manusia Air mengalir, menembus pokok dahan dan ranting Engkau mendapatinya Berasal dari satu mata air Padahal bunga berwarna-warni
Nah, lagi-lagi di sini kita menemukan jalan yang ditempuh Gus Dur. Gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan pluralismenya ternyata berangkat dari tradisinya sendiri. Ia tekun mengaji kitab-kitab klasik raksasa dan primer sampai khatam. Sayang, kitab-kitab ini amat jarang dibaca orang atau dibaca tetapi hanya sampai kulit luar, yang tertulis, yang literal, harfiyah, dan tak khatam, tak selesai.

(Sumber: Majalah Cahaya Sufi)
— bersama Ansoori Dahlan dan 35 lainnya.
 http://kawanrenunganhati.wordpress.com/2012/07/27/2-1-24-sikap-terhadap-non-muslim/


LINK BERIKUT DAPAT MEMBANTU SIKAP SEORANG MUSLIM MEMAKNAI ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN.

http://kawanrenunganhati.wordpress.com/2012/07/27/2-1-24-sikap-terhadap-non-muslim/
Sikap terhadap non-muslim
Syariat Islam dalam kehidupan bernegara memberikan petunjuk yang jelas dalam menyikapi orang-orang kafir (non muslim) dan berlaku adil terhadap mereka sesuai timbangan syariat sehingga kaum muslimin juga terjaga dari pengaruh buruk mereka. Diantara ketentuan-ketentuan Islam mengenai orang kafir adalah sebagai berikut:
1) Islam tidak memaksa seorang kafir pun untuk masuk Islam.
Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 256).

Oleh karena itu, di masa pemerintahan Islam dimasa khulafaur rasyidin, orang kafir yang hidup di bawah pemerintahannya tetap terlindungi darahnya, meski mereka tetap memilih agamanya yang selain Islam. Adapun yang diperangi bukan semata-mata karena memilih agama selain Islam. Mereka diperangi karena permusuhan dan penentangan mereka terhadap Islam.
2) Dalam Islam orang kafir ada empat macam, dan masing-masing mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda:

Pertama: Kafir dzimmi, 

yaitu orang kafir yang memilih untuk bertempat tinggal di dalam negara Islam dan mereka menyetujui untuk tunduk kepada peraturan negara Islam dan membayar jizyah setiap tahunnya kepada pemerintah sebagai jaminan kemanan bagi mereka. Maka seorang muslim tidak boleh mengganggu mereka. Islam memberikan kebebasan kepada orang-orang kafir dzimmi untuk bertempat tinggal dan berpindah ke tempat mana pun dari belahan negeri Islam, selain tanah suci dan jazirah Arab. Ibnu Hazm menyatakan, “(Ulama) telah bersepakat bahwa darah kafir dzimmi yang tidak menggugurkan dzimmah (jaminannya) adalah haram (untuk ditumpahkan).” (Maratib al-Ijma’, no. 138)

Allah berfirman, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah : 29).

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam bersabda, “…apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”.  (HR. Bukhari)

Kedua: Kafir mu’ahad,

yaitu orang kafir yang telah terjadi kesepakatan damai dengan kaum muslimin maka kaum muslimin tidak boleh menggangu mereka. Islam menjaga perjanjian yang ditetapkan dengan orang-orang kafir, selama mereka tetap menjaganya.

Allah berfirman, “Maka selama mereka (musyrikin) berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).

Dan Allah berfirman, ”Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”. (QS. At-Taubah : 4).

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Bukhari)

Ketiga: Kafir musta’man,

yaitu orang kafir yang meminta jaminan kemanan kepada kaum muslimin dan diizinkan (seperti turis atau duta negara), kaum muslimin juga dilarang mengganggu mereka. Allah berfirman, “Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.(QS. At-Taubah : 6).


Dan dalam hadits Ummu Hani` radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib,-pent) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam bersabda, “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.” (HR. Bukhari)

Keempat: Kafir harbi,

yaitu orang-orang kafir selain tiga jenis kafir diatas. Orang kafir jenis ini disyariatkan untuk diperangi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan dan kondisi-kondisi yang ditetapkan dalam syariat Islam.
3) Islam tidak mengabaikan penunaian hak terhadap kerabat meskipun berbeda agama.

Allah berfirman, ”Dan jika keduanya (ibu-bapak) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)

Diriwayatkan dari Asma’ bintu Abi Bakr, ia berkata, “Ibuku datang menemuiku sedangkan dia seorang musyrik. Aku segera meminta fatwa kepada Rasulullah, ’Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku dalam keadaan ingin menyambung tali silaturahim. Apakah aku harus menerimanya?’ Rasulullah n menjawab, ’Ya, terima dan sambung tali silaturahim dengan ibumu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari sahabat Ibnu Abbas, ia berkata, Suatu ketika Abu Thalib paman Nabi sakit, lalu Nabi shalallahu’alaihi wa sallam menjenguknya. (HR. Ahmad).

4) Islam memandang bahwa berbuat baik dan bersikap adil adalah hak bagi siapa pun yang tidak memerangi kaum muslimin.

Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8-9)

Sikap adil wajib ditegakkan kepada setiap orang, sekalipun terhadap orang yang kita harus membencinya, dengan cara yang benar, seperti kalangan orang-orang kafir yang memusuhi dan memerangi kita.

 Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Maidah: 8)

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Baqarah: 190)

Untuk itulah, Nabi shalallahu’alaihi wa sallam mewanti-wanti kita agar berhati-hati dari doa orang yang dizalimi walaupun seorang kafir. Beliau bersabda: “Berhati-hatilah kalian dari doa orang yang dizalimi, walaupun ia seorang kafir, karena tidak ada penghalang di balik doanya.” (HR. Ahmad)

5) Islam memperbolehkan melakukan hubungan jual beli dengan orang kafir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Secara hukum asal tidak diharamkan bagi manusia untuk melakukan semua muamalah yang dibutuhkannya, kecuali jika ada keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengharamkannya. Seperti halnya ibadah, tidak disyariatkan bagi siapa pun untuk melakukannya dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah, melainkan jika ada keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena agama adalah apa yang disyariatkan oleh Allah dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah.” (as-Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 155).

Berangkat dari kaidah ini, bermuamalah dengan orang-orang kafir dalam jual-beli dan hadiah, tidak termasuk dalam kategori muwalah. Artinya, boleh melakukan transaksi jual-beli dengan mereka. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam “Bab Jual-Beli dengan Orang-Orang Musyrik dan Musuh” di kitab Shahih-nya (4/410 no. 2216) dari Abdurrahman bin Abi Bakr, ia berkata, “Ketika kami tengah bersama dengan Nabi, datanglah seorang laki-laki musyrik yang rambutnya panjang dan tidak rapi sambil menuntun seekor kambing. Nabi n bertanya kepadanya, ‘Apakah ini untuk dijual atau hadiah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, ini hanya untuk dijual.’ Lalu Nabi membeli kambing itu darinya.”

Ibnu Baththal mengemukakan, “Bermuamalah dengan orang kafir boleh-boleh saja, selain menjual sesuatu yang dapat membantu orang-orang kafir/musuh untuk memudaratkan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 4/410)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila seseorang melakukan safar ke negeri musuh untuk membeli sesuatu, hal itu dibolehkan menurut hemat kami. Dasarnya adalah hadits sahabat Abu Bakr radhiallahu’anhu pergi berdagang ke negeri Syam sewaktu Rasulullah masih hidup, sementara Syam waktu itu statusnya adalah negeri musuh. Adapun jika seorang muslim menjual sesuatu kepada mereka (orang-orang kafir) seperti makanan, pakaian, wewangian di hari raya mereka, atau bahkan mengirim hadiah (parsel), ini mengandung unsur membantu memeriahkan dan mewujudkan hari raya mereka yang diharamkan.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim hlm. 229)

6) Islam memperbolehkan mengambil manfaat dari orang kafir dan produk mereka
Sesungguhnya Islam memberikan keluasan bagi seorang muslim untuk mengambil suatu urusan dunia yang bermanfaat dari nonmuslim, seperti ilmu kimia, fisika, ilmu falak, kedokteran, pertanian,  manajemen perkantoran, dan sebagainya (dari ilmu-ilmu keduniaan). Terlebih ketika tidak ada seorang muslim yang baik/bertakwa yang dapat memberikan faedah ilmu-ilmu tersebut. (Majmu’ Fatawa, 4/114)

Demikian pula, seorang muslim boleh mengambil manfaat dari hasil produksi orang kafir seperti senjata, pakaian, dan sebagainya yang dibutuhkan manusia secara umum. Demikian juga hal-hal lumrah yang sama-sama dimanfaatkan oleh muslim dan nonmuslim (kafir).

Persoalan mengambil manfaat dari orang-orang kafir ini sebenarnya telah diterangkan dalam sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Bahkan, beliau pernah menyewa seorang musyrik, seperti dalam hadits riwayat al-Imam al-Bukhari.

Ibnu Baththal mengatakan, “Mayoritas ahli fiqih memandang bolehnya menyewa orang-orang musyrik dalam keadaan darurat dan selainnya karena hal tersebut sebenarnya mengandung unsur merendahkan mereka. Yang dilarang adalah seorang muslim menyewakan dirinya kepada orang musyrik, karena hal itu mengandung unsur menghinakan diri.” (Fathul Bari, 4/442)

Nabi juga pernah memanfaatkan tenaga orang-orang Yahudi dengan mempekerjakannya mengolah ladang di Khaibar dan hasilnya dibagi dua. (HR. al-Imam al-Bukhari)

7) Islam memperbolehkan bertetangga dengan orang kafir

Tetangga mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik, apalagi Allah mewasiatkan secara khusus agar seseorang berlaku baik terhadap tetangganya.

 Allah berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (an-Nisa: 36)

Demikian pula, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam menerangkan hal ini dalam banyak hadits.  Sekalipun si tetangga itu kafir, ia tetap mendapatkan hak sebagai tetangga dan tidak boleh disakiti. Bahkan, kalau dia fakir, kita dibolehkan memberinya sedekah dan hadiah serta menyampaikan nasihat yang bermanfaat, karena bisa jadi, hal itu menjadi sebab timbulnya kecintaan dan masuknya yang bersangkutan ke dalam Islam. Menurut asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawa Nur ‘alad Darb, tidak mengapa bertakziah jika ada salah seorang dari anggota keluarganya meninggal dunia, namun jangan sekali-kali mendoakan si mayit. Doakan bagi yang masih hidup agar mendapatkan hidayah. Tidak mengapa pula sekadar menanyakan keadaannya dan keadaan anak-anaknya. (Lihat Wajadilhum Billati Hiya Ahsan hlm. 94)

8) Islam memperbolehkan donor darah untuk mereka

Asy-Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz mengatakan, ”Jika ada orang kafir mua’had atau kafir musta’man—yaitu yang tidak terlibat peperangan dengan muslimin—sangat membutuhkan darah, tidak mengapa mendonorkan darah kita untuk mereka. Saya tidak melihat adanya larangan dalam hal itu. Bahkan, Anda akan mendapat pahala. Anda tidak berdosa jika membantu meringankan beban orang yang membutuhkan.” (Fatawa Nur ’alad Darb. Lihat Wajadilhum hlm. 95)

9) Islam memperbolehkan menjawab salam mereka

Apabila ada orang kafir yang mengucapkan salam ketika berjumpa dengan orang-orang Islam, sebagai bentuk keadilan dan muamalah yang baik, Islam mewajibkan menjawab salam tersebut. Inilah yang dipegangi oleh mayoritas ulama berdasarkan sebuah hadits yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam (yang artinya), ”Apabila orang-orang Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, biasanya sebagiannya mengatakan, ‘As-sam ‘alaikum (Kebinasaan atas kalian).’ Oleh karena itu, jawablah, ‘Wa’alaika (Atas kalian juga)’.” (HR. al-Bukhari).

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam juga bersabda, “Jika para ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah dengan ‘Wa ‘alaikum’.” (HR. al-Bukhari ).

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukakan dalam Syarh Riyadhus Shalihin, “Seandainya orang kafir itu mengucapkan salam dengan sempurna seperti salam kaum muslimin, sebagai bentuk keadilan adalah menjawabnya sesuai dengan ucapan salamnya.”

10) Islam memperbolehkan orang kafir untuk masuk masjid kecuali masjidil haram
Sebagian umat Islam beranggapan bahwa orang-orang kafir dilarang keras memasuki masjid-masjid kaum muslimin, sekalipun untuk keperluan bertanya tentang Islam atau bahkan untuk menyatakan keislamannya.

Anggapan yang seperti ini jelas keliru. Islam tidak pernah mengajarkan yang demikian. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam justru pernah mengikat seorang kafir di masjidnya di Madinah. Bahkan, beliau membiarkan utusan Bani Tsaqif ketika mereka masuk ke masjid. Utusan orang-orang Nasrani pun memasuki masjid beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini semua menunjukkan bolehnya orang-orang kafir masuk ke masjid-masjid kaum muslimin, termasuk Masjid Nabawi, jika ada keperluan, seperti bertanya tentang Islam, mendengarkan ceramah Islam, dan keperluan lainnya yang bermaslahat.

Namun mereka tidak diperbolehkan memasuki Masjidil Haram. Seluruh orang kafir dengan segala macam kekafiran dilarang untuk memasukinya. Allah telah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 28)

11) Meskipun Islam mengajarkan untuk berbuat baik dan adil terhadap orang kafir akan tetapi Islam tidak memperbolehkan memberikan loyalitas kepada orang kafir:

a) Tidak boleh ridha dengan kekafiran orang-orang kafir:

Tidak mau mengafirkannya, ragu-ragu terhadap kekafirannya, cenderung membenarkan jalan hidupnya, atau mengatakan bahwa semua agama benar. Jika seorang muslim berbuat demikian maka ia diragukan keislamannya.


Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir dengan sebenar-benarnya kekafiran. Kami Telah menyediakan siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS. An-Nisa’: 150-151)

Allah juga berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Allah juga berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Tidak boleh pula mentoleransi kekafiran mereka akan tetapi bukan berarti berbuat semena-mena terhadap mereka, melainkan memperlakukan mereka dengan adil sesuai ketentuan yang digariskan dalam syariat.

b) Tidak boleh menjadikan mereka sebagai wali:

Yaitu menjadikan mereka sebagai penolong, pembela, pemimpin, atau condong membela agama mereka. Allah  berfirman, Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Hanya kepada Allah kembali(mu).” (Ali Imran: 28)

 Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya berkata, “Siapa saja yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, pembantu, dan mencintai agamanya, berarti dia telah bara’ (berlepas diri) dari Allah. Allah pun bara’ darinya lantaran ia telah murtad dari agama dan masuk ke dalam kekafiran.” (Tafsir ath-Thabari)

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)

Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan sebagai pemimpin, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu dan dari orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakkallah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maa-idah: 57)

c) Tidak boleh beriman kepada sebagian kekufuran yang ada pada diri mereka, atau menjadikan mereka sebagai hakim (pemutus perkara).

Allah berfirman: ”Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt (sihir) dan thaghut (sesembahan selain Allah), serta mengatakan kepada orang-orang kafir, bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 51)

d) Tidak boleh menyayangi dan mencintai orang-orang kafir pada kekafiran mereka.
Allah telah melarang hal ini dalam firman-Nya: Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)


Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Mumtahanah: 1)

e) Tidak boleh condong atau memihak kepada mereka.

Allah berfirman: Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 113)

Al-Imam al-Qurthubi berkata, “Condong atau memihak hakikatnya adalah bersandar dan bertumpu serta cenderung kepada sesuatu dan ridha kepadanya.” Menurut al-Imam Qatadah, makna ayat ini adalah “Jangan kalian berikan kecintaan kepada mereka dan jangan kalian menaatinya.” Adapun menurut Ibnu Juraij dari Ibnu Abbas, “Janganlah kalian condong kepada mereka.”

f) Tidak boleh bersikap terlalu lunak dan penuh basa-basi terhadap kekafiran mereka. Hal ini sering menimpa kaum muslimin yang umumnya memberikan penilaian bahwa musuh-musuh Allah melebihinya dalam kekuatan materi. Bahkan, ada yang sudah sampai pada tingkatan menyebut musuh-musuh Allah sebagai simbol kehebatan dan kemajuan. Akhirnya, tidak sedikit yang mulai melirik dan meniru cara beragama mereka demi menggapai sebuah “kemajuan”. Hal ini dilakukan agar musuh-musuh Allah tidak menganggapnya sebagai muslim yang fanatik terhadap agamanya. Allah berfirman: “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (al-Qalam: 9)

Sungguh benar sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: ”Kalian pasti akan mengikuti tata cara (beragama) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai kalau mereka masuk lubang dhabb, kalian pun akan mengikutinya.” (HR. al-Bukhari)

g) Tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman dekat atau istimewa.

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali Imran: 118)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang itu diukur melalui agama temannya. Maka dari itu, lihatlah dengan siapa salah seorang kalian berteman.” (HR. Abu Dawud), Beliau juga bersabda, “Janganlah kau jadikan sahabat kecuali seorang yang mukmin.”

Keterangan di atas menunjukkan keharusan membenci dan tidak bersikap loyal (setia) kepada orang-orang kafir dan pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah serta yang semisalnya. Berkawan dekat dengan orang-orang kafir dan condong kepada mereka berarti kekufuran atau kemaksiatan, karena pergaulan hal itu tidaklah terjadi melainkan karena adanya kecintaan. Allah berfirman: “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (al-Isra: 74—75)

h) Tidak boleh menaati perintah mereka yang berupa penyimpangan syariat, atau mengikuti sistem dan jalan hidup mereka.

Allah dengan jelas melarang perbuatan itu. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 149)

Allah juga berfirman: “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 121)

i) Tidak boleh duduk dan bergabung bersama mereka, pada saat mereka mengolok-olok, menolak dan merendahkan ayat Allah.

Allah berfirman: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka mengalihkan pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam Jahannam.” (an-Nisa: 140)

j) Tidak boleh ridha dengan perbuatan mereka yang melanggar Islam, tidak mengagungkan (memuji-muji) mereka, tidak tertipu dengan kelebihan (kemajuan duniawi) mereka dan meniru gaya hidup mereka (tasyabbuh).

Allah berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi: 28)

k) Tidak boleh membantu atau membela kezaliman mereka dan permusuhan mereka terhadap Islam.
Tidak boleh menyukseskan program-program mereka yang batil, membeberkan kelemahan kaum muslimin, dan memerangi muslimin bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Kafir): “Kami akan mematuhi kalian dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila para malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus amalan-amalan mereka. Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami tunjukkan mereka kepada kalian sehingga kalian benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya, dan kalian benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (QS. Muhammad: 25-30)

l) Tidak boleh membantu ibadah mereka.

Ibadah yang mereka lakukan adalah kekufuran dan kesyirikan yang hal itu merupakan dosa terbesar dalam Islam, maka membantu ibadah mereka sama halnya membantu kekufuran dan kesyirikan yang Allah murkai. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni semua dosa di bawah dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh di telah mengadakan dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’:48)

Allah juga berfirman, Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan tempatnya adalah di neraka, tidak ada seorangpun penolong bagi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 72)

Setiap muslim harus berlepas diri dari ibadah mereka, Allah berfirman, “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku’.” (Al Kaafiruun: 1-6)

m) Tidak boleh pindah dari negeri Islam ke negeri kafir karena membenci kaum muslimin dan mencintai orang-orang kafir.

Karena Allah justru memerintahkan yang sebaliknya yaitu berhijrah dari negara kafir kepada negara muslim, dan Allah mencela orang-orang yang tidak mau berhijrah dari negeri kafir. Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri ini.” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An Nisa: 97-99)

Maka bagaimanakah lagi bila seorang muslim justru lebih memilih tinggal di negara kafir karena kecintaannya kepada mereka.

sumber link :

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=207051452786159&set=a.108467515977887.15263.100004439172346&type=1&theater
http://kawanrenunganhati.wordpress.com/2012/07/27/2-1-24-sikap-terhadap-non-muslim/



BANYAK -BANYAKLAH MEMBACA AGAR KITA TAMPIL MENJADI MANUSIA YANG ARIF DAN BIJAKSANA :



http://www.angelfire.com/de/assalam/assalam045.html
PANDANGAN DAN SIKAP RASULULLAH TERHADAP   

ORANG KAFIR

Seiring dengan panasnya situasi dan kondisi di Ambon dan maraknya berbagai aksi solidaritas kaum muslimin terhadap penderitaan dan jeritan saudara-saudara seiman mereka di Ambon, muncul upaya-upaya meragukan dan menghalangi solidarItas itu. Konon --nampaknya ada tekanan dari pihak-pihak tertentu-- untuk meredakan konflik dan mencegah perpecahan bangsa --sambil melupakan terbunuhnya ribuan anak bangsa yang muslim dan puluhan ribu yang terusir dari wilayah Maluku. Upaya-upaya itu terlihat dalam suara-suara yang menyebut bahwa yang terjadi di Ambon cuma kriminal biasa dan bukan perang antar agama; untuk menyelesaikan masalah Ambon jangan menggunakan pendekatan agama; tak ada kata jihad untuk kaum muslimin yang ke Ambon; termasuk yang diungkap Gus Dur(Republika, ...) bahwa orang Nasrani dan Yahudi itu bukan kafir, yang kafir itu adalah orang atheis! Kata-kata dan kalimat-kalimat di atas telah begitu luas disiarkan melalui media massa cetak maupun elektronik sehingga sebagian umat mengalami keraguan dan kebingungan.

Bagaimana sesungguhnya pandangan dan sikap Rasulullah saw. terhadap orang-orang kafir? Apapula sikap beliau manakala ada kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang kafir kepada kaum muslimin tersebab agama Islam yang mereka yakini? Tulisan ini mengungkapnya agar kaum muslimin bersikap syar'i (legal) sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam setiap sikap dan perbuatannya.

Siapa-siapa yang Disebut Orang Kafir?

Kafir adalah orang yang menolak mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Sang Pencipta dan Dzat yang patut disembah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya serta menolak mengimani ayat-ayat Al Qur'an dan syiari'at-Nya.

Rasulullah saw. telah menyampaikan pandangannya yang tidak lain semata-mata adalah wahyu (QS. An Najm 3) tentang siapa yang kafir dan apa kategorinya. Rasul membacakan firman Allah SWT antara lain:

"Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata" (QS. Al Bayyinah 1)

"Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya". (QS. Al Bayyinah 6)

Ahli kitab dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani, yakni kaum yang memegang Taurat dan Injil.

Kekufuran mereka disebut-sebut al Qur'an antara lain:
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam..' " (QS. Al Maidah 17).

"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan : 'Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga' (QS. Al Maidah 73).

"Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang-orang Nasrani pun berkata : "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan-ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allahlah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling. Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan" (QS. At Taubah 30-31).

Allah SWT mewanti-wanti orang-orang Yahudi agar jangan menolak kerasulan Muhammad saw. Allah SWT berfirman:

"Dan berimanlah kalian (hai Bani Israil) kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya". (QS. Al Baqarah 41).

Namun kebanyakan mereka memang kafir. Allah SW berfirman:
"...Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman (masuk Islam), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (kafir)". (QS. Ali Imran 110).

Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah seorang di antara umatku, baik dia seorang Yahudi maupun Nasrani, mendengar tentang aku dan tidak beriman kepadaku, maka dia layak masuk ke neraka" (HR. Muslim).

Adapun yang terkategori dalam kafir kelompok musyrik adalah mereka yang tidak beriman dan tidak termasuk ahli kitab, seperti musyrikin Quraisy, Majusi, dan lain-lain termasuk dalam hal ini adalah kaum atheis komunis yang menuhankan ideologi dan pencetus ideologi mereka.

DAKWAH SEBELUM JIHAD

Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mengajak manusia, baik dari kalangan penyembah berhala maupun ahli kitab, untuk masuk Islam atau masuk kepada jalan Allah SWT dengan bukti-bukti yang kuat dan argumentasi yang baik. Allah SWT berfirman:
"Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (QS. An Nahl 125).

Rasulullah saw. mengajak orang-orang Quraisy dengan cara itu secara tekun selama di kota Mekkah sekalipun kebanyakan mereka justru menolak bahkan mengintimidasi dakwah beliau saw.
Setelah menjadi kepala negara di kota Madinah, Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan militer untuk melindungi masyarakat kota Madinah dan untuk mengawal dan melindungi dakwah dari gangguan dan hambatan fisik yang diberikan oleh para pemimpin komunitas kafir yang menolak Islam. Sekalipun memiliki kekuatan militer, Rasulullah saw. mendahulukan pendekatan dakwah yang bersifat argumentatif. Bahkan kepada setiap pasukan yang dikirim, Rasulullah berpesan agar setiap kaum yang didatangi selalu diberi pilihan untuk masuk Islam dengan hak dan kewajiban yang sama dengan para mujahidin yang telah masuk Islam lebih dahulu, atau tetap dalam keyakinan mereka tetapi menggabungkan wilayah mereka dengan negara Islam yang dipimpin Rasul (Daarul Muhaajirin), atau (pilihan terakhir) mempersiapkan peperangan untuk penaklukan negeri mereka.
Ketika datang 60 orang delegasi dari orang-orang Nasrani dari Najran, Rasulullah saw. mengajak mereka masuk Islam. Beliau saw. membacakan firman Allah:

"Katakanlah : 'Hai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari pada Allah...." (QS. Ali Imran 64)

Melihat gelagat bahwa delegasi Nasrani Najran menerima kebenaran penjelasan Rasulullah saw. namun tak mau beriman lantaran kekhawatiran kehilangan posisi di kaum mereka, beliau mengajak delegasi Nasrani Najran untuk bermubahalah, melaksanakan firman Allah:

"Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu (yang menyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya) : Marilah kita memanggil anak-anak kami, istri-istri kami dan istri-istri kamu, dirti kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta" (QS. Ali Imran 63).

Maka delegasi Nasrani Najran menyatakan tidak mempersoalkan agama Islam yang dibawa Rasulullah saw. dan mereka tetap dalam agama mereka. Hanya saja, mereka meminta Rasulullah saw. menyertakan seseorang yang faham hukum Islam untuk memutuskan perkara persengketaan harta di antara masyarakat Nasrani Najran. Lalu beliau mengutus Abu Ubaidah menyertai mereka (lihat Taqiyuddin An Nabhani, Daulah Islamiyyah, hal 68).

Dalam situasi dan kondisi apapun, dakwah mengajak manusia masuk Islam dan menjadikan kalimat Allah yang tertinggi adalah misi yang tetap beliau saw. jalankan.

MENJADIKAN KAFIR DZIMMI SEBAGAI WARGANEGARA

Rasulullah saw. tidak selalu memerangi orang-orang kafir. Apabila orang-orang kafir sebagai sebuah komunitas menolak untuk bergabung ke dalam sistem negara Islam yang beliau dirikan, maka beliau perangi hingga mereka takluk. Kalau mereka telah menerima untuk hidup di bawah sistem Islam maka mereka statusnya menjadi warga negara yang dilindungi, tidak diperangi. Mereka disebut kafir dzimmi atau ahlu dzimmah. Allah SWT berfirman:

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk" (QS. At Taubah 29)

Orang kafir dzimmi; persamaan hak sosial ekonomi dan perlindungan hukum dengan warga negara muslim.

Hanya saja kafir dzimmi tidak diberi hak untuk membentuk partai politik. Sebab partai politik dalam sistem negara Islam hanya boleh berasas Islam dan mengadopsi ide-ide dan hukum-hukum Islam. Juga mereka tidak diberi hak untuk menjadi penguasa, seperti khalifah atau wali. Sebab, Allah SWT berfirman:

"Dan sekali-sekali Allah tidak mengijinkan orang-orang kafir mendapatkan jalan untuk menguasai orang-orang mukmin" (QS. An Nisa 41).

Namun secara keseluruhan mereka diperlakukan secara baik dan dibiarkan memeluk keyakinan mereka. Khalifah Umar bin Khaththab r.a. tatkala hendak meninggal berpesan:

"Kupesankan kepada khalifah sesudahkan agar begini-dan begini. Kupesankan agar menjaga dzimmah Allah dan dimmah Rasul-Nya dengan baik, dan dan janganlah mereka (kafir dzimmi) dibebani dengan beban yang melebih kemampuan mereka" (lihat An Nabhani, Syakhshiyyah Islamiyyah Juz II/239).

MEMBERI PERLINDUNGAN KEPADA KAFIR MUSTA'MIN

Dalam situasi peperangan dengan suatu negara kafir (Daulah Muharibah Fi'lan) Rasul memutuskan hubungan (perjanjian) apapun dengan komunitas kafir. Dan orang kafir warga negara tersebut dilarang masuk ke wilayah negara Islam sama sekali, kecuali untuk menjadi kafir dzimmi atau mendengar ayat-ayat al Qur'an. Adapun terhadap negara-negara kafir yang tidak melakukan peperangan kepada negara Islam (Daulah Muharibah Hukman), Rasullullah saw. menjalin perjanjian dengan komunitas mereka dan memberikan jaminan apabila warga negara tersebut masuk ke wilayah kaum muslimin. Allah SWT berfirman:

"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah" (QS. At Taubah 6).

Perlindungan kepada orang kafir musta'min ini meliputi diri, harta, dan kehormatan mereka. Kaum muslimin dilarang mengganggu mereka. Bahkan sekedar menggunjing atau membicarakan aib mereka saja, diharamkan atas kaum muslimin.

MENINDAK TEGAS ORANG KAFIR YANG MEMUSUHI ISLAM DAN KAUM MUSLIMIN

Namun demikian, terhadap kaum yang sudah menjalin hubungan dengan negara Islam dan ternyata mengkhianatinya atau menodai kehormartan salah seorang muslim, maka Rasulullah saw. bertindak tegas kepada mereka. Pengusiran Yahudi Bani Qainuqa bermula dari seorang muslimah yang pergi ke pasar mereka dipermainkan oleh seorang tukang sepuh emas Yahudi, hingga kehormatannya tersingkap. Lalu kejadian itu diketahui oleh seorang muslim yang langsung membunuh Yahudi itu. Namun kemudian giliran muslim tersebut dibunuh beramai-ramai oleh orang-orang Yahudi yang ada di pasar itu.

Terhadap Yahudi Bani Nadhir, dengan tegas Rasulullah saw. mengusir mereka dengan mengutus Muhammad bin Maslamah dengan mengatakan: "Pergilah engkau ke orang-orang Yahudi Bani Nadhir dan katakanlah kepada mereka: 'Sesungguhnya Rasulullah saw. mengutusku kepada kalian agar kalian keluar dari negeri kami. Sesungguhnya kalian telah melanggar perjanjian yang menyebabkan kalian berkhianat kepada kami. Dan sesungguhnya masih ada sepuluh hari kesempatan untuk kalian. Jika kalian melampauinya, maka akan dibunuh". (Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 79)

Terhadap Yahudi Bani Quraizhah yang berkhianat dan bersekongkol dengan Quraisy dalam Perang Ahzab, Nabi menjatuhkan hukuman mati bagi seluruh laki-laki mereka. Dan Khaibar yang merupakan benteng terakhir Yahudi di Jazirah Arab beliau saw. gempur setelah terbetik kabar bahwa mereka sedang melobi Quraisy untuk melakukan serangan secara mendadak ke Madinah. Setelah membuat perjanjian Hudaibiyah dengan Quraisy, beliau saw. segera mengerahkan pasukan ke Khaibar, menggempurnya, dan menaklukkannya.

Rasulullah saw. pun bersabda: "Sungguh aku akan mengusir Yahudi dan Nasrani dari Jazirah arab sehingga yang tertinggal di jazirah itu hanyalah Islam" (HR. Abu Dawud).

Kini jelaslah bahwa perbedaan antara iman dan kufur dan mukmin dan kafir. Perbedaan itu bersifat tetap. Adapun Barat telah berusaha agar kaum muslimin mengakui bahwa Islam itu sama dengan Yahudi dan Nasrani. Tak diragukan lagi bahwa, upaya memanipulasi Islam sebagai agama yang disamakan dengan Yahudi dan Nasrani adalah suatu kesalahan besar.

Pemeluk Yahudi dan Nasrani harus didakwahi untuk diajak kepada Islam, sebagaimana Rasulullah saw. telah mengajak nenek moyang mereka kepada Islam. Di antara mereka yang masuk Islam, maka statusnya secara otomatis sama dengan pemeluk Islam pendahulu. Mereka yang mau tunduk kepada sistem Islam, dilindungi jiwa, harta, dan kehormatan mereka.

Yang menolak dan justru membuat fitnah di kalangan kaum muslimin, mereka harus ditindak tegas menurut hukum syari'at Islam!.

Wallahu a'lam!

Sumber link :

http://www.angelfire.com/de/assalam/assalam045.html


1 komentar:

  1. Sepertinya anda salah memahami artikel: Sikap terhadap non-muslim
    http://kawanrenunganhati.wordpress.com/2012/07/27/2-1-24-sikap-terhadap-non-muslim/
    karena pada artikel tersebut tidak sependapat sama sekali dengan faham pluralisme gusdur
    hal ini diperjelas pada artikel tersebut di revisi terbaru

    BalasHapus